Pengamat penerbangan, Dudi Sudibyo, menilai rencana pemerintah untuk
memperketat syarat permodalan dapat mengantisipasi kepailitan maskapai.
"Hati-hati, jangan sampai hanya dengan modal kurang dari US$ 1 juta,
bisa membuka maskapai," katanya saat dihubungi Tempo, Senin, 4 Februari 2013.
Ia menjelaskan, sebelum tahun 2000, hanya ada tujuh maskapai di Indonesia. Namun, sejak awal 2000-an, kata dia, maskapai pun tumbuh seperti jamur di musim hujan. Ketika itu terjadi krisis ekonomi dan tragedi World Trade Center atau peristiwa 9/11 di Amerika Serikat sehingga harga pesawat pun menjadi murah.
Oleh karena itu, mulai terjadi perlombaan maskapai-maskapai baru. Pada masa itu, muncul maskapai-maskapai baru yang bahkan belum memiliki pesawat sendiri. "Pesawatnya baru satu atau dua, itu pun sewaan," kata Dudi. Ia berpesan, jangan sampai pengusaha cepat-cepat membuka bisnis maskapai.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan menyatakan berencana memperketat syarat pengajuan maskapai baru. "Kami akan perketat untuk permodalannya," kata Direktur Angkutan Udara, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan, Djoko Murjatmodjo, pekan lalu.
Ia mengatakan, bisnis transportasi udara merupakan bisnis yang high cost, high competition, high technology, high human resources. Oleh karena itu, kata dia, para pelaku bisnis transportasi udara harus berhati-hati. Jika tidak, Djoko mengungkapkan, kejadian dipailitkannya maskapai seperti Batavia Air, bisa terulang.
Menurut Djoko, batasan minimal permodalan tergantung jenis pesawat suatu maskapai. Untuk penerbangan tidak berjadwal, maskapai harus memiliki minimal satu pesawat dan mengoperasikan dua pesawat sewaan. Sedangkan untuk penerbangan berjadwal, maskapai wajib memiliki lima pesawat dan menyewa lima pesawat lain.
Ia pun menyebut Susi Air dan Lion Air sebagai contoh. Modal yang disetor Susi Air dengan pesawat senilai US$ 2,5 juta akan berbeda dari Lion Air yang memiliki pesawat seharga US$ 80 juta. Yang terpenting menurut Kementerian Perhubungan, modal yang disetor minimal cukup untuk investasi dan operasional selama setahun.
Menurut Dudi, bisnis maskapai merupakan bisnis yang sangat teregulasi. Ia mengungkapkan tidak ada bisnis selain bisnis maskapai yang diatur terlalu dalam. Meski demikian, ia menyebut ada dua maskapai yang layak dijadikan contoh.
Ia meminta para pengusaha belajar dari Lion Air dan AirAsia. Maskapai milik Rusdi Kirana, Lion Air, semula hanya mengoperasikan dua pesawat sewaan. Saat itu maskapai tersebut hanya memiliki modal US$ 900 ribu. "Pak Rusdi benar-benar mendalami bisnisnya sehingga Lion Air bisa seperti sekarang ini," kata Dudi.
Ia pun menyebut AirAsia sebagai sebagai maskapai yang fenomenal di dalam dan luar negeri. Maskapai dengan Tony Fernandes sebagai Chief Executive Officer (CEO) juga pada awalnya hanya menerbangkan dua pesawat. Bahkan, kata Dudi, AirAsia sempat mengalami kebangkrutan sebelum akhirnya sukses seperti sekarang.
Ia menjelaskan, sebelum tahun 2000, hanya ada tujuh maskapai di Indonesia. Namun, sejak awal 2000-an, kata dia, maskapai pun tumbuh seperti jamur di musim hujan. Ketika itu terjadi krisis ekonomi dan tragedi World Trade Center atau peristiwa 9/11 di Amerika Serikat sehingga harga pesawat pun menjadi murah.
Oleh karena itu, mulai terjadi perlombaan maskapai-maskapai baru. Pada masa itu, muncul maskapai-maskapai baru yang bahkan belum memiliki pesawat sendiri. "Pesawatnya baru satu atau dua, itu pun sewaan," kata Dudi. Ia berpesan, jangan sampai pengusaha cepat-cepat membuka bisnis maskapai.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan menyatakan berencana memperketat syarat pengajuan maskapai baru. "Kami akan perketat untuk permodalannya," kata Direktur Angkutan Udara, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan, Djoko Murjatmodjo, pekan lalu.
Ia mengatakan, bisnis transportasi udara merupakan bisnis yang high cost, high competition, high technology, high human resources. Oleh karena itu, kata dia, para pelaku bisnis transportasi udara harus berhati-hati. Jika tidak, Djoko mengungkapkan, kejadian dipailitkannya maskapai seperti Batavia Air, bisa terulang.
Menurut Djoko, batasan minimal permodalan tergantung jenis pesawat suatu maskapai. Untuk penerbangan tidak berjadwal, maskapai harus memiliki minimal satu pesawat dan mengoperasikan dua pesawat sewaan. Sedangkan untuk penerbangan berjadwal, maskapai wajib memiliki lima pesawat dan menyewa lima pesawat lain.
Ia pun menyebut Susi Air dan Lion Air sebagai contoh. Modal yang disetor Susi Air dengan pesawat senilai US$ 2,5 juta akan berbeda dari Lion Air yang memiliki pesawat seharga US$ 80 juta. Yang terpenting menurut Kementerian Perhubungan, modal yang disetor minimal cukup untuk investasi dan operasional selama setahun.
Menurut Dudi, bisnis maskapai merupakan bisnis yang sangat teregulasi. Ia mengungkapkan tidak ada bisnis selain bisnis maskapai yang diatur terlalu dalam. Meski demikian, ia menyebut ada dua maskapai yang layak dijadikan contoh.
Ia meminta para pengusaha belajar dari Lion Air dan AirAsia. Maskapai milik Rusdi Kirana, Lion Air, semula hanya mengoperasikan dua pesawat sewaan. Saat itu maskapai tersebut hanya memiliki modal US$ 900 ribu. "Pak Rusdi benar-benar mendalami bisnisnya sehingga Lion Air bisa seperti sekarang ini," kata Dudi.
Ia pun menyebut AirAsia sebagai sebagai maskapai yang fenomenal di dalam dan luar negeri. Maskapai dengan Tony Fernandes sebagai Chief Executive Officer (CEO) juga pada awalnya hanya menerbangkan dua pesawat. Bahkan, kata Dudi, AirAsia sempat mengalami kebangkrutan sebelum akhirnya sukses seperti sekarang.